WAYANG YANG SAYANG DI LUPAKAN
Wayang sebenarnya bukan hanya sekadar tontonan, tapi juga tatanan dan tuntunan perilaku masyarakat. Sayangnya, selama ini pemerintah dinilai tidak berpihak pada kelestarian budaya ini.
Malam itu hujan baru saja mengguyur desa Mojosongo, Solo, Jawa Tengah. Hawa dingin terasa semakin menusuk tulang. Namun hal itu tidak mengurangi kesakralan pertunjukan wayang yang merupakan ritual tasyukuran desa pada Jumat (20/10).
Semalam suntuk, dalang Ki Purbo Asmoro mempertunjukan kepiawaiannya membawakan lakon “Wahyu Makutharama”.
Ratusan warga desa dengan antusias menyimak gaya dalang asal Surakarta yang membawakan kisah dalam bahasa Jawa mulai pukul 21.00-04.00 WIB.
Ki Purbo mengisahkan perebutan Wahyu Makutharama antara Pandawa (Arjuna) dan Kurawa (Duryudana). Makutharama merupakan mahkota yang dimiliki raja Ayodya Ramawijaya sebagai penjelmaan dewa Wisnu pada zaman Ramayana. Sedangkan pada zaman Mahabharata, Dewa Wisnu menjelma lagi menjadi Kresna dan Arjuna.
Kisah tersebut memuat nilai-nilai kepemimpinan Ramawijaya yang memiliki sifat-sifat alam, yakni matahari, bulan, angkasa, Bumi, angin, api, dan air. Lalu sifat-sifat tersebut diwariskan kepada Wisnu yang saat itu menjelma sebagai manusia.
“Singkat kata, kisah Wahyu Makutharama tersebut kaya akan konsep-konsep kepemimpinan yang dapat menjadi tuntunan masyarakat,” kata Ki Purbo yang juga menjadi dosen tamu di Institut Seni Indonesia, Surakarta, Jawa Tengah.
Seorang dalang memang dapat mengemas pesan apa pun sesuai permintaan penyelenggara. Meski demikian, menurut dalang sekaligus akademisi dari Universitas Indonesia, Darmoko, setidaknya ada nilai moral dan seni yang akan selalu mendominasi dalam setiap cerita pewayangan.
Nilai moral memberikan bingkai bagaimana seyogianya manusia bersikap dan berperilaku ketika berhubungan dengan Tuhan, alam, dan manusia lainnya.
“Karena itu wayang bukan sekadar tontonan, akan tetapi juga sebuah tatanan dan tuntunan,” tandas dosen mata kuliah wayang ini. Oleh sebab itu, tambahnya, masyarakat di suatu daerah memanfaatkan cerita wayang tersebut sebagai bahan renungan, pedoman, dan bahkan ideologi hidup mereka.
Selain moral, di dalam wayang juga terkandung lima aspek, yaitu widya (filsafat dan pendidikan), drama (pentas dan musik karawitan), gatra (pahat dan seni lukis), ripta (sangit dan sastra), dan cipta (konsepsi dan ciptaan-ciptaan baru).
Maka tak berlebihan bila seniman Barat menilai wayang sebagai the most complex and sophisticated theatrical form in the world.
Bahkan, ada warga negara Australia yang saking jatuh cintanya terhadap kesenian wayang berusaha mempelajarinya dan sekarang berhasil menjadi dalang andal.
Dialah Gaura Mancacaritadipura, seorang ekspatriat yang kini menjadi warga negara Indonesia. “Saya mencintai kesenian wayang karena kaya akan unsur kesenian dan filsafat,” cetus Gaura (nama asli) yang mendapatkan nama Mancacaritadipura dari PakubuwonoXII.
Diakui Dunia
Selain pengakuan-pengakuan tersebut, wayang Indonesia juga telah ditetapkan sebagai “A Masterpiece of The Oral and Intangible Heritage of Humanity” oleh Unesco pada 7 November 2003 di Paris, Prancis.
Menurut para pakar seni, penghargaan itu memang layak disandang karena wayang merupakan hasil budaya asli bangsa Indonesia. Apalagi, keberadaan wayang di negeri ini telah dikenal sejak sekitar abad XII dan berkembang sampai sekarang.
Direktur Jenderal Nilai Budaya, Seni, dan Film, Depertemen Kebudayaan dan Pariwisata (Depbudpar) RI, Tjejep Suparman, mengungkapkan program “masterpieces” sudah tidak dilanjutkan lagi sejak Konvensi 2003 Unesco tentang Perlindungan Warisan Budaya Takbenda.
Tapi berdasaran keputusan konveksi tersebut, pada 4 November 2008 wayang Indonesia terinskripsi dalam Daftar Representatif Budaya Takbenda Warisan Manusia.
Pengakuan Unesco tersebut akan menjadi bukti bahwa wayang memang budaya genius bangsa Indonesia. “Jadi akan percuma bila ada suatu negara yang mencoba mengklaim wayang sebagai kekayaan budayanya,” ujar Tjejep.
Penghagaan dari badan dunia tersebut memang sangat strategis untuk mengembangkan budaya wayang di masa-masa akan datang. Akan tetapi dalam pengembangan wayang itu sendiri ada ganjalan yang justru muncul dari dalam bangsa ini sendiri. “Ada kesan Pemerintah selama ini ‘membiarkan’ kesenian wayang,” ujar Darmoko.
Sejak Indonesia mendapatkan penghargaan dari Unesco, kata Darmoko, mana pernah ada porsi anggaran yang jelas dari pemerintah untuk mengembangkan dan melestarikan wayang, baik untuk organisasi nasional pewayangan, Sekretariat Nasional Pewayangan Indonesia (Senawangi), maupun Persatuan Pedalangan Indonesia (Pepadi).
“Apalagi bantuan anggaran untuk sanggar-sanggar wayang yang sebenarnya menjadi urat nadi budaya wayang masih bisa hidup sampai saat ini,” ujarnya.
Selama ini, dua organisasi yang memiliki kontribusi besar terhadap pengembangan dan pelestarian wayang mendapatkan dana dari para sukarelawan saja.
“Sejak berdirinya Senawangi maupun Pepadi, kami tidak pernah mendapatkan dukungan finasial sepeser pun dari pemerintah, dalam hal ini Depbudpar,” ujar Sekretaris Jenderal Senawangi, Tupuk Sutrino.
Bersyukur, kata Tupuk, selama ini Senawangi memiliki banyak “kawan” yang bersedia mengucurkan dana untuk melakukan berbagai kegiatan agar kesenian wayang tetap bergairah, baik di dalam maupun luar negeri. Sebab, mengandalkan pemerintah yang selama ini sepertinya melulu berpihak pada masalah pariwisata akan percuma.
Bahkan, lanjut Tupuk, rencana akan diselenggarakannya Festival Nasional Dalang Cilik dan deklarasi Union Internationale de la Marionette (UNIMA) pada 16 Desember 2009 di Jakarta merupakan ide yang dari para sukarelawan yang kemudian diwujudkan bersama. Deklarasi ini dinilai akan sangat mendukung posisi Indonesia sebagai pemilik kesenian wayang di mata masyarakat internasional.
Menurut dalang sekaligus dosen dari Institut Seni Indonesia Surakarta, Trisno Santoso, saat ini tantangan terberat bagi para seniman yang terlibat dalam suatu pagelaran pewayangan sebenarnya adalah gempuran budaya pop yang dinilai sudah semakin tidak terbendung lagi. Para seniman berjam terbang tinggi atau pelaku seni kreatif yang mungkin akan tetap eksis.
Secara tidak langsung Depbudpar sebenarnya juga sudah menangkap keluhan para pelaku seni wayang tersebut. Namun, masalah pengembangan dan pelestarian kesenian wayang bukan berarti sepenuhnya menjadi tanggung jawab pemerintah pusat saja. “Apalagi sejak diberlakukannya otonomi daerah,” ujar Tjejep.
Selama ini, Depbupar juga terus mengimbau para gubenur di Indonesia yang memiliki kesenian wayang di daerahnya agar menggelar pertunjukan ini dalam melakukan hajatan. Menurut Tjejep, seharusnya pergelaran wayang semalam suntuk di Istana Negara pada peringatan HUT ke-64 kemerdekaan Republik Indonesia, menjadi titik tolak kebangkitan pertunjukan kesenian wayang di instansi-instansi pemerintah.
Tapi, pergelaran wayang di instansi-instansi seyogianya tidak bersifat seremonial belaka, melainkan harus mengandung unsur pendidikan. Untuk itu, Depbupar juga menganjurkan agar kesenian wayang dimasukkan dalam kurikulum sekolah. “Itu semua langkah yang akan terus kita tempuh agar kesenian wayang ini dapat tetap lestari,” pungkas Tjejep.
Sumber : www.koran-jakarta.com
Pendapat : menurut saya opini yang di berikan oleh penulis artikel ini benar bahwa sangat di sayang kan jika kebudayaan wayang di Indonesia terlupakan oleh masyarakat nya.karna wayang di indonesia bukan sekedar sebuah hiburan tetapi wayang telah menjadi satu kepribadian bangsa yang telah di kenal di banyak negara bahkan telah mendapat kan penghargaan yaitu “A Masterpiece of The Oral and Intangible Heritage of Humanity” oleh UNESCO di Paris,Perancis pada tanggal 7 November 2003.
maka sepantasnya masyarakat harus lebih mengapresiasi karya asli indonesia tersebut dengan mengadakan acara khusus mengenai kebudayaan wayang ataupun mengenalkan kebudayaan ini pada anak-anak sejak dini,karena menurut saya kebudayaan ini mulai terpinggirkan oleh kebudayaan asing yang praktis,tanpa tantangan dan tidak memerlukan kreatifitas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar