KASUS PELANGGARAN ETIKA BISNIS “INDOMIE” DI TAIWAN
Akhir-akhir ini makin banyak dibicarakan perlunya pengaturan
tentang perilaku bisnis terutama menjelang mekanisme pasar bebas. Dalam
mekanisme pasar bebas diberi kebebasan luas kepada pelaku bisnis untuk
melakukan kegiatan dan mengembangkan diri dalam pembangunan ekonomi. Disini
pula pelaku bisnis dibiarkan bersaing untuk berkembang mengikuti mekanisme
pasar.
Dalam sistem perekonomian pasar bebas, perusahaan diarahkan
untuk mencapai tujuan mendapatkan keuntungan semaksimal mungkin, sejalan dengan
prinsip efisiensi. Namun, dalam mencapai tujuan tersebut pelaku bisnis kerap
menghalalkan berbagai cara tanpa peduli apakah tindakannya melanggar etika
dalam berbisnis atau tidak.
Hal ini terjadi akibat manajemen dan karyawan yang cenderung
mencari keuntungan semata sehingga terjadi penyimpangan norma-norma etis, meski
perusahaan perusahaan tersebut memiliki code
of conduct dalam berbisnis yang harus dipatuhi seluruh organ di dalam
organisasi. Penerapan kaidah good
corporate governace di perusahaan swasta, BUMN, dan instansi pemerintah
juga masih lemah. Banyak perusahaan melakukan pelanggaran, terutama dalam
pelaporan kinerja keuangan perusahaan.
Peluang-peluang yang diberikan pemerintah pada masa orde baru
telah memberi kesempatan pada usaha-usaha tertentu untuk melakukan penguasaan
pangsa pasar secara tidak wajar. Keadaan tersebut didukung oleh orientasi
bisnis yang tidak hanya pada produk dan konsumen tetapi lebih menekankan pada persaingan sehingga etika bisnis
tidak lagi diperhatikan dan akhirnya telah menjadi praktek monopoli,
persengkongkolan dan sebagainya.
Akhir-akhir ini pelanggaran etika bisnis dan persaingan tidak
sehat dalam upaya penguasaan pangsa pasar terasa semakin memberatkan para
pengusaha menengah kebawah yang kurang memiliki kemampuan bersaing karena
perusahaan besar telah mulai merambah untuk menguasai bisnis dari hulu ke
hilir. Perlu adanya sanksi yang tegas mengenai larangan prakti monopoli dan
usaha yang tidak sehat agar dapat mengurangi terjadinya pelenggaran etika
bisnis dalam dunia usaha.
Dalam persaingan antar perusahaan terutama perusahaan besar
dalam memperoleh keuntungan sering kali terjadi pelanggaran etika berbisnis,
bahkan melanggar peraturan yang berlaku. Apalagi persaingan yang akan dibahas
adalah persaingan produk impor dari Indonesia yang ada di Taiwan. Karena harga
yang lebih murah serta kualitas yang tidak kalah dari produk-produk lainnya.
Kasus Indomie yang mendapat larangan untuk beredar di Taiwan
karena disebut mengandung bahan pengawet yang berbahaya bagi manusia dan
ditarik dari peredaran. Zat yang terkandung dalam Indomie adalah methyl parahydroxybenzoate dan benzoic acid (asam benzoat). Kedua zat
tersebut biasanya hanya boleh digunakan untuk membuat kosmetik, dan pada Jumat, 08/10/2010 pihak Taiwan telah
memutuskan untuk menarik semua jenis produk Indomie dari peredaran. Di Hongkong,
dua supermarket terkenal juga untuk sementara waktu tidak memasarkan produk
dari Indomie.
Kasus Indomie kini mendapat perhatian Anggota DPR dan Komisi
IX akan segera memanggil Kepala BPOM Kustantinah. “Kita akan mengundang BPOM
untuk menjelaskan masalah terkait produk Indomie itu, secepatnya kalau bisa
hari kamis, 14/10/2010,” kata Ketua Komisi IX DPR, Ribka
Tjiptaning. Komisi IX DPR akan meminta keterangan tentang kasus Indomie ini
bisa terjadi, apalagi pihak negara luar yang mengetahui terlebih dahulu akan
adanya zat berbahaya yang terkandung di dalam produk Indomie.
Dessy Ratnaningtyas, seorang praktisi kosmetik menjelaskan,
dua zat yang terkandung di dalam Indomie yaitu methyl parahydroxybenzoate dan benzoic
acid (asam benzoat) adalah bahan pengawet yang membuat produk tidak cepat
membusuk dan tahan lama. Zat berbahaya ini umumnya dikenal dengan nama nipagin. Dalam pemakaian untuk produk
kosmetik sendiri pemakaian nipagin
ini dibatasi maksimal 0,15%. Ketua BPOM Kustantinah juga membenarkan tentang
adanya zat berbahaya bagi manusia dalam kasus Indomie ini. Kustantinah
menjelaskan bahwa benar Indomie mengandung nipagin,
yang juga berada di dalam kecap dalam kemasam mie instan tersebut. tetapi kadar
kimia yang ada dalam Indomie masih dalam batas wajar dan aman untuk dikonsumsi,
lanjut Kustantinah. Tetapi bila kadar nipagin
melebihi batas ketetapan aman untuk di konsumsi yaitu 250 mg per kilogram untuk
mie instan dan 1.000 mg nipagin per
kilogram dalam makanan lain kecuali daging, ikan dan unggas, akan berbahaya
bagi tubuh yang bisa mengakibatkan muntah-muntah dan sangat berisiko terkena
penyakit kanker.
Menurut Kustantinah, Indonesia yang merupakan anggota Codex Alimentarius Commision, produk
Indomie sudah mengacu kepada persyaratan Internasional tentang regulasi mutu,
gizi dan kemanan produk pangan. Sedangkan Taiwan bukan merupakan anggota Codec. Produk Indomie yang dipasarkan di
Taiwan seharusnya untuk dikonsumsi di Indonesia. Dan karena standar di antara
kedua negara berbeda maka timbulah kasus Indomie ini.
KESIMPULAN
Etika bisnis dalam perusahaan memiliki peran yang sangat
penting, yaitu untuk membentuk suatu perusahaan yang kokoh dan memiliki daya
saing yang tinggi serta mempunyai kemampuan menciptakan nilai (value-creation) yang tinggi, diperlukan
suatu landasan yang kokoh. Biasanya dimulai dari perencanaan strategis ,
organisasi yang baik, sistem prosedur yang transparan didukung oleh budaya
perusahaan yang andal serta etika perusahaan yang dilaksanakan secara konsisten
dan konsekuen.
Seperti pada kasus Indomie masalah yang terjadi dikarenakan
kurangnya pengetahuan dan informasi mengenai kandungan-kandungan apa saja yang
terkandung dalam produk mie tersebut sehingga Taiwan mempermasalahkan kandungan
nipagin yang ada dalam produk
tersebut. Padahal menurut BPOM kandungan nipagin
yang juga berada di dalam kecap dalam kemasam mie instan tersebut, kadar kimia
yang ada dalam Indomie masih dalam batas wajar dan aman untuk dikonsumsi.
Selain itu standar di antara kedua Negara yang berbeda Indonesia yang merupakan
anggota Codex Alimentarius Commision
dan karena Taiwan bukan merupakan anggota Codec
sehingga harusnya produk Indomie tersebut tidak dipasarkan ke Taiwan.
SARAN
Bagi perusahaan Indomie
sebaiknya memperbaiki etika dalam berbisnis, harus transparan mengenai
kandungan-kandungan apa saja yang terkandung dalam produk mie yang mereka
produksi agar tidak ada permasalah dan keresahan yang terjadi akibat informasi
yang kurang bagi para konsumen tentang makanan yang akan mereka konsumsi.
TANGGAPAN DAN SOLUSI BERKAITAN DENGAN KASUS
- Tanggapan
Menurut pendapat
saya permasalahan diatas adalah sebuah permasalahan yang berawal dari lemahnya
koordinasi antara pihak “Indomie” sebagai penjual dengan “Pemerintah Taiwan”
sebagai penerima produk atau pembeli. karena aturan mengenai kandungan methyl parahydroxybenzoate
dan benzoic acid (asam benzoat) atau nipagin pada
makanan diantara kedua belah pihak berbeda sehingga menimbulkan kesalahan
persepsi yang berakhir pada penarikan produk “Indomie” dari pasar di Taiwan.
Selain hal tersebut
kandungan methyl
parahydroxybenzoate dan benzoic
acid (asam benzoat) atau nipagin memang tidak seharusnya
digunakan sebagai cara mengawetkan produk makanan karena kandungan tersebut
pada dasarnya adalah bahan yang digunakan untuk produk kosmetik dan itu pun
dibatasi sebesar 0,15% dari keseluruhan bahannya.
- Solusi
Solusi yang paling
baik dan mendasar untuk menanggulangi permasalahan diatas adalah meningkatkan
koordinasi ketika memasarkan ataupun menjual produk dengan cara ekspor-impor
karena setiap negara kemungkinan memiliki regulasi yang berbeda mengenai
hal-hal yang bersangkutan dengan produk. Lalu kerjasama antar negara pun harus
lebih ditingkatkan agar jika terjadi hal tersebut negara importir dapat
melakukan penyesuaian kandungan yang terdapat pada produk import sesuai dengan
regulasi yang ada pada negara tersebut.
Lalu untuk instansi
pemerintah khususnya BPOM sebagai penyeleksi bahan makanan dan organisasi yang
menjadi forum perdagangan internasional seperti Codex
Alimentarius Commision harus
lebih meneliti bahan-bahan yang menjadi standar yang diperbolehkan pada bidang
kuliner agar keamanan konsumen dapat terjamin. Jangan sampai kelalaian dalam
penentuan bahan-bahan standart mengakibatkan konflik sosial dan mengancam
keamanan konsumen dalam mengkonsumsi sebuah produk. Lalu saat standar
bahan-bahan pada produk dibidang kuliner telah ditentukan, diperlukan
sosialisasi pada masyarakat agar tidak terjadi keresahan saat mengkonsumsi
produk-produk kuliner.
Sumber :
Tidak ada komentar:
Posting Komentar