PERKEMBANGAN POLITIK
INTERNASIONAL
Politik Internasional bisa diartikan secara sederhana
sebagai sebuah bentuk pertemuan atau interaksi dua politik luar negeri yang
dilakukan oleh negara. Jadi syarat mutlak terjadinya sebuah politik
internasional adalah adanya minimal 2 kebijakan luar negeri dari 2 negara
yang berbeda yang berinteraksi satu sama lain.
Dalam studi hubungan internasional, perkembangan
politik internasional sendiri tidak pernah menyimpang jauh dari perkembangan
kajian hubungan internasional itu sendiri. Ibarat polinter adalah ikan dan
hubungan internasional adalah akuariumnya, maka kehidupan ikan akan sangat
dipengaruhi oleh kondisi air pada akuarium tersebut. Dalam studi hubungan
internasional pula diketahui bahwa terjadi sebuah perkembangan drastic pada
politik internasional pada masa pasca perang dunia 2. Perkembangan tersebut
salah satunya dipengaruhi oleh perkembangan teknologi.
Perkembangan teknologi dalam politik internasional
yang paling tampak adalah dalam bidang militer dan persenjataan. Dijatuhkannya
2 bom nuklir “little boy” dan “fat man” oleh Amerika Serikat di kota Hiroshima
dan Nagasaki telah membuat mata dunia terbuka betapa berbahayanya senjata
tersebut bagi manusia dan alam. Kehebatan tenaga nuklir mampu meluluhlantakkan
semua hal bahkan yang “hanya” terkena radiasinya. Selepas perang dunia 2,
mulailah dilarang penggunaan nuklir sebagai senjata. Namun masih banyak negara
yang sesungguhnya secara diam-diam mengembangkan senjata berteknologi nuklir
tersebut, terutama negara-negara yang turut serta dalam perang dingin yang
terus berlangsung sampai berakhir pada penghujung periode 80an.
Selanjutnya perkembangan teknologi ini membuat semua
pihak lebih berhati-hati dalam menggunakan senjata, apalagi untuk tujuan
berperang dengan negara lain. Setidaknya ada 3 ciri khas yang bisa diamati.
1. Adanya perubahan dalam peperangan. Perubahan
dalam peperangan ini maksudnya negara akan berpikir berkali-kali sebelum
mendeklarasikan perang pada pihak (negara) lain karena di tengah iklim
globalisasi ini ketergantungan antarnegara sudah semakin erat, sehingga jika
ada 2 negara yang berperang, maka aka nada negara-negara lain yang ikut campur
dan biasanya akan terjadi perang teknologi senjata yang mematikan bagi kedua
belah pihak. Maka sekarang sangat jarang terjadi perang terbuka antar negara.
Teknologi persenjataan lebih digunakan untuk mengatasi gejolak dalam negeri dan
dikembangkan secara diam-diam.
2. Muncul konsep overkill dan defenselessness.
Konsep overkill maksudnya adalah konsep bahwa perang akan
memakan banyak korban, bukan hanya di pihak lawan, tapi juga di pihak sendiri.
Sedangkan konsep defenselessness maksudnya adalah mengusahakan
sebuah pertahanan bersama dengan negara-negara lain demi menghadapi ancaman
dari luar, misalnya dengan membentuk sebuah pakta pertahanan bersama.
3. Muncul mutual suicide. Bila
diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia maka menjadi ke-saling-bunuhdiri-an. Ya
itulah yang akan terjadi bila terjadi perang terbuka. Kerugian nyawa dan harta
benda pasti tak terhitung jumlahnya.
Demikianlah maka dalam dunia politik internasional
jarang sekali kita temui perang terbuka yang radikal dan frontal antarnegara.
Hal itu semua sesungguhnya berakar dari perkembangan teknologi yang oleh
anak-anak manusia bisa diolah sedemikian rupa sehingga menjadi senjata yang
berbahaya. Kondisi politik yang terkesan adem ayem tetap dipertahankan, namun
selalu ada saja pihak yang mencoba melakukan provokasi dan konfrontasi. Semoga
para pengambil keputusan tidak hanya berpikir pendek dalam mendeklarasikan
sesuatu. Dalam usaha mengatasi konflik diperlukan sebuah mekanisme akomodasi
dan resolusi yang sesuai.
Perlombaan senjata sesungguhnya masih terjadi hingga
saat ini. Terutamaoleh negara-negara yang menguasai teknologi. Seperti misalnya
Amerika Serikat yang memiliki hulu ledak nuklir dimana-mana dan kapanpun siap diledakkan.
Teheran, Pyongyang, Baghdad adalah sasaran utama mereka sampai saat ini. Namun,
cukup sudahlah kita, warga dunia, mengalah pada Amerika Serikat dalam satu hal.
Biarlah mereka menjadi negara pertama dan satu-satunya yang pernah menjatuhkan
bom nuklir dalam sejarah dunia. Tidak perlu lagi ada yang lain yang
melakukannya.
Sumber : http://politik.kompasiana.com/2010/09/01/perkembangan-teknologi-dan-politik-internasional/
PERKEMBANGAN POLITIK INDONESIA SETELAH REFORMASI
1. Pengangkatan Habibie Menjadi Presiden Republik
Indonesia
Setelah B.J. Habibie dilantik menjadi Presiden
Republik Indonesia pada tanggal 21 Mei 1998. Tugas Habibie menjadi Presiden
menggantikan Presiden Soeharto sangatlah berat yaitu berusaha untuk mengatasi
krisis ekonomi yang melanda Indonesia sejak pertengahan tahun 1997.
Habibie yang manjabat sebagai presiden menghadapi
keberadaan Indonesia yang serba parah, baik dari segi ekonomi, politik, sosial,
dan budaya. Langkah-langkah yang dilakukan oleh Habibie adalah berusaha untuk
dapat mengatasi krisis ekonomi dan politik. Untuk menjalankan pemerintahan,
Presiden Habibie tidak mungkin dapat melaksanakannya sendiri tanpa dibantu oleh
menteri-menteri dari kabinetnya.
Pada tanggal 22 Mei 1998, Presiden Republik
Indonesia yang ketiga B.J. Habibie membentuk kabinet baru yang dinamakan
Kabinet Reformasi Pembangunan. Kabinet itu terdiri atas 16 orang menteri, dan
para menteri itu diambil dari unsur-unsur militer (ABRI), Golkar, PPP, dan PDI.
Dalam bidang ekonomi, pemerintahan Habibie berusaha
keras untuk melakukan perbaikan. Ada beberapa hal yang dilakukan oleh
pemerintahan Habibie untuk meperbaiki perekonomian Indonesia antaranya :
- Merekapitulasi
perbankan
- Merekonstruksi
perekonomian Indonesia.
- Melikuidasi
beberapa bank bermasalah.
- Manaikan
nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika Serikat hingga di bawah
Rp.10.000,-
- Mengimplementasikan
reformasi ekonomi yang diisyaratkan oleh IMF.
Presiden Habibie sebagai pembuka sejarah perjalanan
bangsa pada era reformasi mangupayakan pelaksanaan politik Indonesia dalam
kondisi yang transparan serta merencanakan pelaksanaan pemilihan umum yang
langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil. Pemilihan umum yang akan
diselenggarakan di bawah pemerintahan Presiden Habibie merupakan pemilihan umum
yang telah bersifat demokratis. Habibie juga membebaskan beberapa narapidana
politik yang ditahan pada zaman pemerintahan Soeharto. Kemudian, Presiden
Habibie juga mencabut larangan berdirinya serikat-serikat buruh independent.
2. Kebebasan Menyampaikan Pendapat
Pada masa pemerintahan Habibie, orang bebas
mengemukakan pendapatnya di muka umum. Presiden Habibie memberikan ruang bagi
siapa saja yang ingin menyampaikan pendapat, baik dalam bentuk rapat-rapat umum
maupun unjuk rasa atau demontrasi. Namun khusus demontrasi, setiap organisasi
atau lembaga yang ingin melakukan demontrasi hendaknya mendapatkan izin dari
pihak kepolisian dan menentukan tempat untuk melakukan demontrasi tersebut. Hal
ini dilakukan karena pihak kepolisian mengacu kepada UU No.28 tahun 1997
tentang Kepolisian Republik Indonesia.
Namun, ketika menghadapi para pengunjuk rasa, pihak
kepolisian sering menggunakan pasal yang berbeda-beda. Pelaku unjuk rasa yang
di tindak dengan pasal yang berbeda-beda dapat dimaklumi karena untuk menangani
penunjuk rasa belum ada aturan hukum jelas.
Untuk menjamin kepastian hukum bagi para pengunjuk
rasa, pemerintahan bersama (DPR) berhasil merampungkan perundang-undangan yang
mengatur tentang unjuk rasa atau demonstrasi. adalah UU No. 9 tahun 1998
tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum.
Adanya undang – undang tersebut menunjukkan bahwa
pemerintah memulai pelaksanaan sistem demokrasi yang sesungguhnya. Namun
sayangnya, undang-undang itu belum memasyarakat atau belum disosialisasikan
dalam kehidupan masarakat. Penyampaian pendapat di muka umum dapat berupa suatu
tuntutan, dan koreksi tentang suatu hal.
3. Masalah Dwifungsi ABRI
Menanggapi munculnya gugatan terhadap peran
dwifungsi ABRI menyusul turunnya Soeharto dari kursi kepresidenan, ABRI
melakukan langkah-langkah pembaharuan dalam perannya di bidang sosial-politik.
Setelah reformasi dilaksanakan, peran ABRI di
Perwakilan Rakyat DPR mulai dikurangi secara bertahap yaitu dari 75 orang
menjadi 38 orang. Langkah lain yang di tempuh adalah ABRI semula terdiri dari
empat angkatan yaitu Angkatan Darat, Laut, dan Udara serta Kepolisian RI, namun
mulai tanggal 5 Mei 1999 Polri memisahkan diri dari ABRI dan kemudian berganti
nama menjadi Kepolisian Negara. Istilah ABRI pun berubah menjadi TNI yang
terdiri dari Angkatan Darat, Angkatan Laut, dan Angkatan Udara.
4. Reformasi Bidang Hukum
Pada masa Pemerintahan Presiden B.J. Habibie
dilakukan reformasi di bidang hukum Reformasi hukum itu disesuaikan dengan
aspirasi yang berkembang dimasyarakat. Tindakan yang dilakukan oleh Presiden
Habibie untuk mereformasi hukum mendapatkan sambutan baik dari berbagai
kalangan masyarakat, karena reformasi hukum yang dilakukannya mengarah kepada
tatanan hukum yang ditambakan oleh masyarakat.
Ketika dilakukan pembongkaran terhadapat berbagai
produksi hukum atau undang-undang yang dibuat pada masa Orde Baru, maka tampak
dengan jelas adanya karakter hukum yang mengebiri hak-hak.
Selama pemerintahan Orde Baru, karakter hukum
cenderung bersifat konservatif, ortodoks maupun elitis. Sedangkan hukum
ortodoks lebih tertutup terhadap kelompok-kelompok sosial maupun individu
didalam masyarakat. Pada hukum yang berkarakter tersebut, maka porsi rakyat
sangatlah kecil, bahkan bias dikatakan tidak ada sama sekali.
Oleh karena itu, produk hukum dari masa pemerintahan
Orde Baru sangat tidak mungkin untuk dapat menjamin atau memberikan
perlindungan terhadap Hak-hak Asasi Manusia (HAM), berkembangnya demokrasi
serta munculnya kreativitas masyarakat.
5. Sidang Istimewa MPR
Dalam perjalanan sejarah bangsa Indonesia, telah dua
kali lembaga tertinggi Negara melaksanakan Sidang Istimewa, yaitu pada tahun
1967 digelar Sidang Istimewa MPRS yang kemudian memberhentikan Presiden
Soekarno dan mengangkat Soeharto menjadi Presiden Rebuplik Indonesia. Kemudian
Sidang Istimewa yang dilaksanakan antara tanggal 10 – 13 Nopember 1998
diharapkan MPR benar-benar menyurahkan aspirasi masyarakat dengan perdebatan
yang lebih segar, lebih terbuka dan dapat menampung, aspirasi dari berbagai
kalangan masyarakat. Hasil dari Sidang Istimewa MPR itu memutuskan 12
Ketetapan.
6. Pemilihan Umum Tahun 1999
Pemilihan Umum yang dilaksanakan tahun 1999 menjadi
sangat penting, karena pemilihan umum tersebut diharapkan dapat memulihkan
keadaan Indonesia yang sedang dilanda multikrisis. Pemilihan umum tahun 1999
juga merupakan ajang pesta rakyat Indonesia dalam menunjukkan kehidupan
berdemokrasi. Maka sifat dari pemilihan umum itu adalah langsung, umum, bebas,
rahasia, jujur, dan adil.
Presiden Habibie kemudian menetapkan tanggal 7 Juni
1999 sebagai waktu pelaksanaan pemiliahan umum tersebut. Selanjutnya lima paket
undang-undang tentang politik dicabut. Sebagai gantinya DPR berhasil menetapkan
tiga undang-undang politik baru. Ketiga udang-undang itu disahkan pada tanggal
1 Februari 1999 dan ditandatangani oleh Presiden Habibie. Ketiga udang-udang
itu antara lain undang-undang partai politik, pemilihan umum, susunan serta
kedudukan MPR, DPR dan DPRD.
Munculnya undang-undang politik yang baru memberikan
semangat untuk berkembangnya kehidupan politik di Indonesia. Dengan munculnya
undang-undang politik itu partai-partai politik bermunculan dan bahkan tidak
kurang dari 112 partai politik telah berdiri di Indonesia pada masa itu. Namun
dari sekian banyak jumlahnya, hanya 48 partai politik yang berhasil mengikuti
pemilihan umum. Hal ini disebabkan karena aturan seleksi partai-partai politik
diberlakukan dengan cukup ketat.
Pelaksanaan pemilihan umum ditangani oleh sebuah
lembaga yang bernama Komisi Pemilihan Umum (KPU). Anggota KPU terdiri dari
wakil-wakil dari pemerintah dan wakil-wakil dari partai-partai politik peserta
pemilihan umum.
Banyak pengamat menyatakan bahwa pemilihan umum
tahun 1999 akan terjadi kerusuhan, namun pada kenyataannya pemilihan umum
berjalan dengan lancar dan aman. Setelah penghitungan suara berhasil
diselesaikan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU), hasilnya lima besar partai yang
berhasil meraih suara-suara terbanyak di anataranya PDI Perjuangan, Partai
Golkar, Partai Persatuan pembangunan, Partai Pembangkitan Bangsa, Partai Amanat
Nasional. Hasil pemilihan umum tahun 1999 hingga saat terakhir pengumuman hasil
perolehan suara dari partai-partai politik berjalan dengan aman dan dapat di
terima oleh suara partai peserta pemilihan umum.
7. Sidang Umum MPR Hasil Pemilihan Umum 1999
Setelah Komisi Pemilihan Umum berhasil menetapkan
jumlah anggota DPR dan MPR, maka MPR segera melaksanakan sidang. Sidang Umum
MPR tahun 1999 diselenggarakan sejak tanggal 1 – 21 Oktober 1999. Dalam Sidang
Umum itu Amien Rais dikukuhkan menjadi Ketua MPR dan Akbar Tanjung menjadi
Ketua DPR. Sedangkan pada Sidang Paripurna MPR XII, pidato pertanggung jawaban
Presiden Habibie ditolak oleh MPR melalui mekanisme voting dengan 355 suara
menolak, 322 menerima, 9 abstain dan 4 suara tidak sah. Akibat penolakan
pertanggungjawaban itu, Habibie tidak dapat untuk mencalonkan diri menjadi
Presiden Republik Indonesia.
Akibatnya memunculkan tiga calon Presiden yang
diajukan oleh fraksi-fraksi yang ada di MPR pada tahap pencalonan Presiden
diantaranya Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Megawati Soekarnoputri, dan Yuhsril
Ihza Mahendra. Namun tanggal 20 Oktober 1999, Yuhsril Ihza Mahendra
mengundurkan diri. Oleh karena itu, tinggal dua calon Presiden yang maju dalam
pemilihan itu, Abdurrahaman Wahid dan Megawati Soekarnoputri. Dari hasil
pemilihan presiden yang dilaksanakan secara voting, Abudurrahman Wahid terpilih
menjadi Presiden Republik Indonesia. Pada tanggal 21 Oktober 1999 dilaksanakan
pemilihan Wakil Presiden dengan calonnya Megawati Soekarnoputri dan Hamzah Haz.
Pemilihan Wakil Presiden ini kemudian dimenangkan oleh Megawati Soekarnoputri.
Kemudian pada tanggal 25 Oktober 1999 Presiden Abdurrahman Wahid dan Wakil
Presiden Megawati Soekarnoputri berhasil membentuk Kabinet Persatuan Nasional.
Abdurrahman Wahid (Gus Dur) menduduki jabatan
sebagai Presiden Republik Indonesia tidak sampai pada akhir masa jabatanya.
Akibat munculya ketidakpercayaan parlemen pada Presiden Abdurrahman Wahid, maka
kekuasaan Abdurrahman Wahid berakhir pada tahun 2001. DPR/MPR kemudian memilih
dan mengangkat Megawati Soekarnoputri sebagai Presiden Republik Indonesia dan
Hamzah Haz sebagai Wakil Presiden Indonesia. Masa kekuasaan Megawati berakhir pada
tahun 2004.
Pemilihan Umum tahun 2004 merupakan momen yang
sangat penting dalam sejarah pemerintahan Republik Indonesia. Untuk pertama
kalinya pemilihan Presiden dan Wakil Presiden dilakukan secara langsung oleh
rakyat Indonesia. Pada pemilihan umum ini Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)
terpilih sebagai Presiden Republik Indonesia dan Jusuf Kalla sebagai Wakil
Presiden Republik Indonesia untuk masa jabatan 2004-2009.
Sumber : http://sejarahreformasiindonesia.blogspot.com/2009/10/c-perkembangan-politik-setelah-21-mei_19.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar